Komisi III Minta Jaksa Agung Laporkan Putusan Pengadilan yang Belum Dieksekusi
Daftar panjang keputusan pengadilan yang belum dapat dieksekusi kejaksaan mendapat perhatian Komisi III DPR RI. Untuk mengurai permasalahan yang terjadi Jaksa Agung diminta menyampaikan laporan lengkap dan akan dibahas dalam rapat kerja usai masa reses yang akan datang.
“Kami mendapat masukan banyak putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tapi tidak bisa dieksekusi. Perlu ada penjelasan dari kejaksaan kenapa ini tidak bisa dieksekusi?” kata Ketua Komisi III Benny K Harman saat memimpin rapat kerja dengan Jaksa Agung di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3/12).
Anggota Komisi III dari FPG Bambang Soesatyo memberi contoh kasus Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin A Najamuddin yang sudah divonis 4 tahun penjara oleh Mahkamah Agung tetapi belum dieksekusi Jaksa. Masukan lain yang diperolehnya dari Kalsel dimana putusan MA telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tetapi belum ada tindakan. “Sekarang yang bersangkutan masih bebas berkeliaran. Apa yang menyebabkan keputusan MA tidak bisa segera dieksekusi kejaksaan?” tandasnya.
Menyikapi hal ini pimpinan sidang Benny K. Harman meminta Jaksa Agung menyampaikan laporan lengkap tentang eksekusi yang mandeg dari kejaksaan di seluruh Indonesia. Sejauh ini tambahnya DPR sudah menerima laporan dari publik tentang putusan pengadilan yang telah inkracht baik tindak pidana umum, korupsi, khusus dan lain-lain tetapi tidak diekseksi kejaksaan.
“Bila perlu kita umumkan melalui surat kabar nasional, silahkan masyarakat yang telah mendapatkan keadilan di atas kertas tapi belum dieksekusi, datang mengadu ke Komisi III supaya nanti kita tahu persis dimana letak problemnya,” tegas politisi Partai Demokrat ini.
Rapat khusus soal eksekusi yang mandeg ini dijadwalkan akan dilaksanakan setelah masa reses bulan Mei yang akan datang dikaitkan dengan tugas Panja Putusan Mahkamah Agung yang juga sudah ditetapkan dalam rapat pleno Komisi III. Jaksa Agung Basrief Arief menyatakan dapat menerima putusan tersebut.
Reformasi Birokrasi dan BLBI
Pelaksaan reformasi birokrasi di tubuh kejaksaan juga menjadi sorotan anggota Komisi III dari FPKS Indra. Ia memperoleh informasi tentang pengangkatan pejabat Aspidsus (Asisten Pidana Khusus) tidak kredibel karena yang bersangkutan tidak pernah menangani perkara korupsi sebelumnya. Pola pengangkatan pejabat seperti itu menurutnya akan bermasalah dalam capaian target pemberantasan tindak pidana korupsi kedepan.
Wakil rakyat dari dapil Banten ini mengaku mendapat masukan praktek kental KKN masih berlangsung dalam pengelolaan sdm kejaksaan diseluruh Indonesia. “Ada keluhan untuk menjadi jaksa kental dengan praktek-praktek KKN, apakah betul setoran 50 sampai 100 juta ini dibenarkan. Itu informasi yang saya dapatkan dari banyak daerah.”
Sementara itu Ahmad Yani dari FPPP mempertanyakan upaya asset recovery kasus BLBI dengan potensi kerugian negara mencapai Rp.600 triliun. Ia menyebut Jaksa Agung sebelumnya Hendarman Supanji pernah membentu tim khusus untuk memburu aset ini. “Katanya anggota tim adalah jaksa setengah malaikat, tapi hasilnya salah seorang anggota tim Jaksa Urip ditangkap karena menerima suap. Bagaiman kelanjutan tim ini?” tanyanya.
Ia juga membeberkan menerima input ada jaksa yang sering bertemu konglomerat hitam terkait BLBI di Singapura. Para pengusaha ini seakan kebal hukum dan masih mengendalikan bisnisnya di Indonesia dari negara tetangga itu. “Saya punya foto-foto para jaksa sedang bertemu konglomerat hitam,” pungkasnya.
Menjawab hal ini Jaksa Agung Basrief Arief menjelaskan upaya reformasi birokrasi di kejaksaan menurutnya masih berlangsung. “Saya sedang menyiapkan SDM yang tangguh tidak tergoncang dengan iming-iming. Kita memilih yang bermoral tinggi dengan kepintaran sedang-sedang saja dari pada SDM pintar tapi tidak punya moral” ujarnya.
Upaya pelatihan lewat diklat dan bimbingan dari jaksa senior menurutnya saat ini sedang berlangsung. Salah satu kebijakan baru yang akan segera dijalankan adalah perekrutan jaksa dilakukan oleh konsultan independen yang bekerja secara profesional.
“Saya nyatakan disini saya tidak mau dengar lagi ada masalah terkait rekruitmen dengan menggunakan uang. Terus terang saya mencoba langsung melacak dan akan saya tangkap langsung kalau ada. Ini pernyataan saya, tidak ada lagi 50 juta, 100 juta untuk mau jadi jaksa, naik pangkat, naik jabatan,” tekannya. Ia juga siap menindaklajuti masukan tentang jaksa yang diduga bertemu konglomerat hitam di Singapura. “Pak Yani serahkan fotonya nanti saya tindak lanjuti,” demikian Basrief Arief. (iky) foto:ry/parle